Senin, 15 Juni 2009

makalah singkat

PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI (FILSAFAT ILMU)

Deanikita

Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan

Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.

Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.

Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.

Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.

Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.

Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.

Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, - or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.

Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian

Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.

Daftar Pustaka

Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :PPS-IKIP Bandung.

Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.

Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.

Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.

Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.

Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.

Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.

Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

Sinopsis dan Treatment

1. Sinopsis :

Contoh 1 : Visualisasi video yang mengisahkan tentang kharakter dua tokoh masing – masing tokoh antagonis dan tokoh melankolis. Perbedaan hereditas yang mengibaratkan satu peribahasa “ Bagai anjing dengan kucing “

( Sinetron yang berjudul : Si Kembar )

Contoh 2 : Media visualisasi dialog seru, sehubungan dengan peristiwa fakta dan actual yangmelibatkan kejatuhan para Caleg

( Calon Legislatif )Banten.

( Dialog visualisasi seru yang bertema : “ Indonesia Tersenyum “ )

Contoh 3 : Media pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia yang bersub pokok bahasan : “ Kelompok kata Frase DM dan MD “

( Pembelajaran Bahasa Indonesia : Kelompok Kata )

2. Treatment :

Contoh 1 : Cerita diawali dengan terlihatnya semburat senja di ufuk barat. Mentari senja tersenyum di balik temaramnya langit yang seolah mengucapkan selamat tinggal pada penghuni Marcapada. Sementara bianglala terus menghitam di sudut gedung tua nampak dua sosok mungil berdiri saling membelakangi cakrawala.Sang Antagonis tak lepas – lepasnya menghunjamkan kata – kata pedas pada tokoh melankolis. Terdengar sendu isak tangis sang melankolis. Namun hal itu tak jua meluluhkan hati si Antagonis.Mereka memang dua bersaudara, tapi entah mengapa, pola kehidupan dan tingkah laku mereka seolah bagai anjing dan kucing, tak pernah akur. Tokoh antagonis selalu melemparkan amarah pada tokoh melankolis yang sangat sensitif dalam segala hal.Sedikit bentakan yang terlontar dari mulut si Antagonis, maka sudah dapat dipastikan, akan terdengar sedu sedan dari si melankolis dan airmatanya bercucuran membasahi pipi putihnya.Namun bagaimanapun juga, apapun juga yang mereka perbuat, mereka tetap sepasang saudara kembar yang jika dilihat dari fisik, tak ada sedikitpun perbedaan. Bagai pinang di belah dua. Sama persis.

Contoh 2 : Acara Televisi kejar tayang, yang di hadirkan tiap malam Selasa ini sangat menyita perhatian pemirsa di seluruh pelosok tanah air. Betapa tidak, disinilah masyarakat bias memprediksi dan juga menyimpulkan,partai mana dan partai siapa yang bakal naik menjadi pemenang dalam Pemilu minggu depan. Sungguh hal yang sangt ironis dalam perkembangan politik yang selalu berubah tak pasti. Dan, hari yang mendebarkan itu akhirnya datang juga, kesibukan sangat terasa di setiap sudut kota.Tak beberapa lama, saat pengumpulan pemungutan suara sudah di tayangkan, tak ayal, satu demi satu caleg yang sangat optimis memenangkan pesta demokrasi ini gigit jari saat namanya tak tercantum dan tak memenuhi kuota persyaratan pra kedudukan caleg. Salah satu kejadian adalah seorang caleg Banten nekad bunuh diri karena usahanya yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah gagal total, bahkan hutangnya menumpuk yang tak sanggup ia lunasi. Akhirnya, mungkin karena tak kuat menahan himpitan dan beban yang teramat berat, sang Caleg Banten tersebut meninggal karena urat nadinya terputus saat pecahan kaca sengaja dikenai ke pergelangan tangan kirinya. Sungguh naif.

Contoh 3 : Kurikulum ber –sub pokok bahasan kelompok kata yang tertera dalam RPP sang guru Bahasa Indonesia terbuka lebar. Disana tertulis definisi dari kelompok kata yaitu ungkapan kata yang mempunyai beberapa idiom tertentu. Kelompok kata itu sendiri terbagi atas dua bagian, yaitu kelompok kata diterangkan dan kelompok kata menerangkan. Untuk menjadi satu frase yang berkesinambungan, kelompok kata yang berfrase Diterangkan

( D ) dengan kelompok kata yang berfrase Menerangkan ( M ) di

Gabung menjadi satu kalimat. Contoh kata yang berfrase DM adalah : Bunga Mawar. Dimana di sini, bunga sebagai kata yang diterangkan sedangkan mawar sebagai kata yang menerangkan. Jadi, Bunga Mawar = berfrase DM

Contoh berikutnya adalah kata yang berfrase MD yaitu = Setangkai Bunga. Dalam hal ini, setangkai adalah kata yang menerangkan, sedangkan bunga adalah kata yang diterangkan.

Inti dari pembelajaran ini adalah siswa mampu memahami bahwa, kata berfrase menerangkan adalah kata yang bisa di ubah – ubah. Sementara kata yang berfrase Diterangkan, adalah sebagai kata pokok yang tidak bisa di ubah – ubah. Contoh sederhana dalam permasalahan diatas adalah, bunga tidak bisa diganti oleh kata yang lain, sementara setangkai bisa diganti dengan dua tangkai, sepucuk dan lain sebagainya. Begitu juga dengan mawar, mawar juga kata yang bisa diubah menjadi melati, anggrek dan lain sebagainya.

Jumat, 05 Juni 2009

06 DESEMBER

06 DESEMBER




Dedaunan terisak
diantara resah
Ranting Patah
Terinjak Gelisah
buah rimbun
Tak lagi terlindung
Tersedan layu
di sela Ombak
Mengulung

Rasaku bukan rasamu
airmataku adalah tawamu
segenggam tanganmu
terlepas
Mengoyak suma yang
Kandas

sepenat Jiwa mengubah Takdir
Sekulum tawa seakan tersibak
Jiwaku Terluka
Langkahku tersendat

Namun Rinduku
Mengalahkan
Cintaku
mengobati
keangguhan dunia maya
Kekuatan
Misteri Ilahi